”Kampanye Lesbi Profesor AKKBB”
”Kampanye Lesbi Profesor AKKBB”
Minggu, 08 Juni 2008
Profesor tidak jaminan pasti bener (benar, red). Banyak banyak pula profesor yang keblinger. Contohnya profesor dari kelompok AKKBB ini. Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian ke-237
Oleh: Adian Husaini
Namanya sudah sangat masyhur. Media massa juga rajin menyiarkan pendapat-pendapatnya. Wajahnya sering muncul di layar kaca. Biasanya menyuarakan aspirasi tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan. Dia memang salah satu aktivis Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB). Beberapa buku sudah ditulisnya. Gelar doktor diraihnya dari UIN (dulu IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Gelar Profesor pun diraihnya.
Biasanya, dia dikenal sebagai feminis pejuang paham kesetaraan gender. Umat Islam sempat dihebohkan ketika Prof. Musdah dan tim-nya meluncurkan Counter Legal Draft (CLD) Kompilasi Hukum Islam. Banyak ide-ide ”aneh” yang tercantum dalam CLD-KHI tersebut. Misalnya, ide untuk mengharamkan poligami, memberi masa iddah bagi laki-laki; menghilangkan peran wali nikah bagi mempelai wanita, dan sebagainya. Sejumlah Profesor syariah di UIN Jakarta sudah menjawab secara tuntas gagasan Musdah dan kawan-kawan. Puluhan – bahkan mungkin ratusan -- diskusi, debat, seminar, dan sebagainya sudah digelar di berbagai tempat.
Toh, semua itu dianggap bagai angin lalu. Prof. Musdah tetap bertahan dengan pendapatnya. Biar orang ngomong apa saja, tak perlu dipedulikan. Jalan terus! Bahkan, makin banyak ide-ide barunya yang membuat orang terbengong-bengong. Pendapatnya terakhir yang menyengat telinga banyak orang adalah dukungannya secara terbuka terhadap perkawinan sesama jenis (homoseksual dan lesbian). Pada CAP-230 lalu, kita sudah membahas masalah ini. Ketika itu, banyak yang bereaksi negatif, seolah-olah kita membuat fitnah terhadap Prof. Musdah. Ada yang menuduh saya salah paham terhadap pemikiran Musdah.
Untuk memperjelas pandangan Musdah Mulia tentang hubungan/perkawinan sejenis (homoseksual dan lesbian), ada baiknya kita simak beb erapa tulisan dan wawancaranya di sejumlah media massa. Dalam sebuah makalah ringkasnya yang berjudul ”Islam Agama Rahmat bagi Alam Semesta”, dosen pasca sarjana UIN Jakarta ini menulis:
“Menurut hemat saya, yang dilarang dalam teks-teks suci tersebut lebih tertuju kepada perilaku seksualnya, bukan pada orientasi seksualnya. Mengapa? Sebab, menjadi heteroseksual, homoseksual (gay dan lesbi), dan biseksual adalah kodrati, sesuatu yang “given” atau dalam bahasa fikih disebut sunnatullah. Sementara perilaku seksual bersifat konstruksi manusia… Jika hubungan sejenis atau homo, baik gay atau lesbi sungguh-sungguh menjamin kepada pencapaian-pencapaian tujuan dasar tadi maka hubungan demikian dapat diterima.” (Uraian lebih jauh, lihat, Majalah Tabligh MTDK PP Muhammadiyah, Mei 2008)
Musdah memang sangat berani dalam menyuarakan pendapatnya, meskipun sangat kontroversial dan mengejutkan banyak orang. Dia tentu paham bahwa isu homoseksual dan lesbian adalah hal yang sangat kontroversial, bahkan di lingkungan aktivis lieral sendiri. Banyak yang berpendapat agenda pengesahan perkawinan sejenis ini ditunda dulu, karena waktunya masih belum tepat. Tapi, Musdah tampaknya berpendapat lain. Dia maju tak gentar, bersuara tentang kehalalan dan keabsahan perkawinan sesama jenis. Tidak heran jika pada 7 Maret 2007 pemerintah Amerika Serikat menganugerahinya sebuah penghargaan ”International Women of Courage Award”.
Sebenarnya, sudah sejak cukup lama Musdah memiliki pandangan tersendiri tentang homoseks dan lesbi. Pandangannya bisa disimak di Jurnal Perempuan edisi Maret 2008 yang menurunkan edisi khusus tentang seksualitas lesbian. Di sini, Prof. Musdah mendapat julukan sebagai ”tokoh feminis muslimah yang progresif”. Dalam wawancaranya, ia secara jelas dan gamblang menyetujui perkawinan sesama jenis. Judul wawancaranya pun sangat provokatif: ”Allah hanya Melihat Taqwa, bukan Orientasi Seksual Manusia”.
Menurut Profesor Musdah, definisi perkawinan adalah: ”Akad yang sangat kuat (mitsaaqan ghaliidzan) yang dilakukan secara sadar oleh dua orang untuk membentuk keluarga yang pelaksanaannya didasarkan pada kerelaan dan kesepakatan kedua belah pihak.” Definisi semacam ini biasa kita dengar. Tetapi, bedanya, menurut Musdah Mulia, pasangan dalam perkawinan tidak harus berlainan jenis kelaminnya. Boleh saja sesama jenis.
Simaklah kata-kata dia berikutnya, setelah mendefinisikan makna perkawinan menurut Aal-Quran:
”Bahkan, menarik sekali membaca ayat-ayat Al-Qur’an soal hidup berpasangan (Ar-Rum, 21; Az-Zariyat 49 dan Yasin 36) di sana tidak dijelaskan soal jenis kelamin biologis, yang ada hanyalah soal gender (jenis kelamin sosial). Artinya, berpasangan itu tidak mesti dalam konteks hetero, melainkan bisa homo, dan bisa lesbian. Maha Suci Allah yang menciptakan manusia dengan orientasi seksual yang beragam.”
Selanjutnya, dia katakan:
”Esensi ajaran agama adalah memanusiakan manusia, menghormati manusia dan memuliakannya. Tidak peduli apa pun ras, suku, warna kulit, jenis kelamin, status sosial dan orientasi seksualnya. Bahkan, tidak peduli apa pun agamanya.”
Prof. Dr. Siti Musdah Mulia pun merasa geram dengan masyarakat yang hanya mengakui perkawinan berlainan jenis kelamin (heteroseksual). Menurutnya, agama yang hidup di masyarakat sama sekali tidak memberikan pilihan kepada manusia.
”Dalam hal orientasi seksual misalnya, hanya ada satu pilihan, heteroseksual. Homoseksual, lesbian, biseksual dan orientasi seksual lainnya dinilai menyimpang dan distigma sebagai dosa. Perkawinan pun hanya dibangun untuk pasangan lawan jenis, tidak ada koridor bagi pasangan sejenis. Perkawinan lawan jenis meski penuh diwarnai kekerasan, eksploitasi, dan kemunafikan lebih dihargai ketimbang perkawinan sejenis walaupun penuh dilimpahi cinta, kasih sayang dan kebahagiaan,” gerutu sang Profesor yang (menurut Jurnal Perempuan) pernah dinobatkan oleh UIN Jakarta sebagai Doktor Terbaik IAIN Syarif Hidayatullah 1996/1997.
Kita tidak tahu, apakah yang dimaksud dengan ”orientasi seksual lainnya” termasuk juga ”orientasi seksual dengan binatang”. Yang jelas, bagi kaum lesbian, dukungan dan legalisasi perkawinan sesama jenis dari seorang Profesor dan dosen di sebuah perguruan Tinggi Islam tekenal ini tentu merupakan sebuah dukungan yang sangat berarti. Karena itulah, Jurnal Perempuan secara khusus memampang biodata Prof. Musdah. Wanita kelahiran 3 Maret 1958 ini lulus pendidikan S-1 dari IAIN Alaudin Makasar. S-2 ditempuhnya di bidang Sejarah Pemikiran Islam di IAIN Jakarta. Begitu juga dengan jenjang S-3 diselesaikan di IAIN Jakarta dalam bidang pemikiran politik Islam. Aktivitasnya sangat banyak. Sejak tahun 1997-sekarang masih menjadi dosen Pasca Sarjana UIN Jakarta. Tahun 1999-2000 menjabat sebagai Kepala Penelitian Agama dan Kemasyarakatan Depag RI. Masih menurut birodata di Jurnal Perempuan, sejak tahun 2001-sekarang, Musdah Mulia juga menjabat sebagai Staf Ahli Menteri Agama bidang Hubungan Organisasi Keagamaan Internasional. Tapi, data ini ternyata tidak benar. Saya sempat mengkonirmasi ke seorang pejabat di Departemen Agama tentang posisi Musdah Mulia ini, dijawab, bahwa dia sudah dikembalikan posisinya sebagai peneliti di Litbang Depag.
Banyak yang bertanya, apa yang salah dengan pendidikan Prof. Musdah? Mengapa dia menjadi pendukung lesbian? Jawabnya: Wallahu A’lam.
Yang jelas, Musdah Mulia memang seorang ’pemberani’. Amerika tidak keliru memberi gelar itu. Dia berani mengubah-ubah hukum Islam dengan semena-mena. Dia memposisikan dirinya sebagai ’mujtahid’. Dia berani menyatakan dalam wawancaranya bahwa:
”Sepanjang bacaan saya terhadap kisah Nabi Luth yang dikisahkan dalam Al-Qur’an (al-A’raf 80-84 dan Hud 77-82) ini, tidak ada larangan secara eksplisit baik untuk homo maupun lesbian. Yang dilarang adalah perilaku seksual dalam bentuk sodomi atau liwath.”
Para pakar syariah tentu akan geli membaca ”hasil ijtihad” Musdah ini. Seorang Profesor – yang juga dosen UIN Jakarta – pernah berargumen, di dalam Al-Quran tidak ada larangan secara eksplisit bahwa Muslimah haram menikah dengan laki-laki non-Muslim. Ketika itu, saya jawab, bahwa di dalam Al-Quran juga tidak ada larangan secara eksplisit manusia kawin dengan anjing. Tidak ada larangan kencing di masjid, dan sebagainya. Apakah seperti ini cara menetapkan hukum di dalam Islam? Tentu saja tidak. Melihat logika-logika seperti itu, memang tidak mudah untuk mengajak dialog, karena dialog dan debat akan ada gunanya, jika ada metodologi yang jelas. Sementara metode yang dipakai kaum liberal dalam pengambilan hukum memang sangat sesuka hatinya, alias amburadul.
Yang jelas, selama 1400 tahun, tidak ada ulama yang berpikir seperti Musdah Mulia, padahal selama itu pula kaum homo dan lesbi selalu ada. Karena itu, kita bisa memahami, betapa ”hebatnya” Musdah Mulia ini, sehingga bisa menyalahkan ijtihad ribuan ulama dari seluruh dunia Islam. Jika pemahaman Musdah ini benar, berarti selama ini ulama-ulama Islam tolol semua, tidak paham makna Al-Quran tentang kisah kaum Luth. Padahal, dalam Al-Quran dan hadits begitu jelas gambaran tentang kisah Luth.
“Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada kaumnya: “Mengapa kalian mengerjakan perbuatan keji, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun sebelum kalian. Sesungguhnya kalian mendatangi laki-laki untuk melepaskan syahwat, bukan kepada wanita; malah kalian ini kaum yang melampaui batas. Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan: “Usirlah mereka dari kotamu ini, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri. Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali istrinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu); maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu.” (QS Al-A’raf:80-84).
Di dalam surat Hud ayat 82 dikisahkan (artinya):
”Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah-tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi.”
Kebejatan perilaku seksual kaum Luth ini juga ditegaskan oleh Rasulullah saw:
“Sesungguhnya hal yang paling aku takutkan menimpa umatku adalah perbuatan kaum Luth.” (HR at-Tirmidzi, al-Hakim, Ibn Majah).
Dalam Tafsir Al-Azhar, Hamka menjelaskan, bagaimana sangat merusaknya penyakit ’kaum Luth’, sehingga mereka diazab dengan sangat keras oleh Allah SWT. Hamka sampai menyebut bahwa perilaku seksual antar sesama jenis ini lebih rendah martabatnya dibandingkan binatang. Binatang saja, kata Hamka, masih tahu mana lawan jenisnya. Hamka mengutip sebuah hadits Rasulullah saw:
“… dan apabila telah banyak kejadian laki-laki ’mendatangi’ laki-laki, maka Allah akan mencabut tangan-Nya dari makhluk, sehingga Allah tidak mempedulikan di lembah mana mereka akan binasa.” (HR at-Tirmidzi, al-Hakim, dan at-Tabhrani).
Hamka menulis dalam Tafsirnya tentang pasangan homoseksual yang tertangkap tangan: “Sahabat-sahabat Rasulullah saw yang diminta pertimbangannya oleh Sayyidina Abu Bakar seketika beliau jadi Khalifah, apa hukuman bagi kedua orang yang mendatangi dan didatangi itu, karena pernah ada yang tertangkap basah, semuanya memutuskan wajib kedua orang itu dibunuh.” (Lihat, Tafsir al-Azhar, Juzu’ 8).
Tapi, berbeda dengan pemahaman umat Islam yang normal, justru di akhir wawancaranya, Prof. Musdah pun menegaskan:
”Islam mengajarkan bahwa seorang lesbian sebagaimana manusia lainnya sangat berpotensi menjadi orang yang salah atau taqwa selama dia menjunjung tinggi nilai-nilai agama, yaitu tidak menduakan Tuhan (syirik), meyakini kerasulan Muhammad Saw serta menjalankan ibadah yang diperintahkan. Dia tidak menyakiti pasangannya dan berbuat baik kepada sesama manusia, baik kepada sesama makhluk dan peduli pada lingkungannya. Seorang lesbian yang bertaqwa akan mulia di sisi Allah, saya yakin ini.”
Camkanlah pendirian Ibu Professor AKKBB ini. ”Saya yakin ini!” katanya. Itulah pendiriannya. Demi kebebasan, orang bisa berbuat apa saja, dan berpendapat apa saja. Ketika seorang sudah merasa pintar dan berhak mengatur dirinya sendiri, akhirnya dia bisa juga berpikir: ”Tuhan pun bisa diatur”. Kita pun tidak perlu merasa aneh dengan pendirian dan sikap aktivis AKKBB seperti Mudah Mulia. Jika yang bathil dalam soal aqidah – seperti kelompok Ahmadiyah – saja didukung, apalagi soal lesbian. Meskipun sering mengecam pihak lain yang memutlakkan pendapatnya, Ibu Profesor yang satu ini mengaku yakin dengan pendapatnya, bahwa praktik perkawinan homo dan lesbi adalah halalan thayyiban.
Jika sudah begitu, apa yang bisa kita perbuat? Kita hanya bisa ’mengelus dada’, sembari mengingatkan, agar Ibu Profesor memperbaiki berpikirnya. Profesor tidak jaminan benar. Banyak profesor yang keblinger. Jika tidak paham syariat, baiknya mengakui kadar keilmuannya, dan tidak perlu memposisikan dirinya sebagai ”mujtahid agung”. Pujian dan penghargaan dari Amerika tidak akan berarti sama sekali di hadapan Allah SWT. Kasihan dirinya, kasihan suaminya, kasihan mahasiswa yang diajarnya, dan kasihan juga institusi yang menaunginya. Tapi, terutama kasihan guru-guru yang mendidiknya sejak kecil, yang berharap akan mewariskan ilmu yang bermanfaat, ilmu jariyah.
Mudah-mudahan, Ibu Profesor aktivis AKKBB ini tidak ketularan watak kaum Luth, yang ketika diingatkan, justru membangkang, dan malah balik mengancam. “Mengapa kalian mendatangi kaum laki-laki di antara manusia, dan kalian tinggalkan istri-istri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu; bahkan kalian adalah orang-orang yang melampaui batas. Mereka menjawab: ”Hai Luth, sesungguhnya jika kamu tidak berhenti, maka pasti kamu akan termasuk orang-orang yang diusir.” (QS asy-Syu’ara: 165-167). [Depok, 6 Juni 2008/www.hidayatullah.com]
Catatan Akhir Pekan adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com
Minggu, 08 Juni 2008
Profesor tidak jaminan pasti bener (benar, red). Banyak banyak pula profesor yang keblinger. Contohnya profesor dari kelompok AKKBB ini. Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian ke-237
Oleh: Adian Husaini
Namanya sudah sangat masyhur. Media massa juga rajin menyiarkan pendapat-pendapatnya. Wajahnya sering muncul di layar kaca. Biasanya menyuarakan aspirasi tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan. Dia memang salah satu aktivis Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB). Beberapa buku sudah ditulisnya. Gelar doktor diraihnya dari UIN (dulu IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Gelar Profesor pun diraihnya.
Biasanya, dia dikenal sebagai feminis pejuang paham kesetaraan gender. Umat Islam sempat dihebohkan ketika Prof. Musdah dan tim-nya meluncurkan Counter Legal Draft (CLD) Kompilasi Hukum Islam. Banyak ide-ide ”aneh” yang tercantum dalam CLD-KHI tersebut. Misalnya, ide untuk mengharamkan poligami, memberi masa iddah bagi laki-laki; menghilangkan peran wali nikah bagi mempelai wanita, dan sebagainya. Sejumlah Profesor syariah di UIN Jakarta sudah menjawab secara tuntas gagasan Musdah dan kawan-kawan. Puluhan – bahkan mungkin ratusan -- diskusi, debat, seminar, dan sebagainya sudah digelar di berbagai tempat.
Toh, semua itu dianggap bagai angin lalu. Prof. Musdah tetap bertahan dengan pendapatnya. Biar orang ngomong apa saja, tak perlu dipedulikan. Jalan terus! Bahkan, makin banyak ide-ide barunya yang membuat orang terbengong-bengong. Pendapatnya terakhir yang menyengat telinga banyak orang adalah dukungannya secara terbuka terhadap perkawinan sesama jenis (homoseksual dan lesbian). Pada CAP-230 lalu, kita sudah membahas masalah ini. Ketika itu, banyak yang bereaksi negatif, seolah-olah kita membuat fitnah terhadap Prof. Musdah. Ada yang menuduh saya salah paham terhadap pemikiran Musdah.
Untuk memperjelas pandangan Musdah Mulia tentang hubungan/perkawinan sejenis (homoseksual dan lesbian), ada baiknya kita simak beb erapa tulisan dan wawancaranya di sejumlah media massa. Dalam sebuah makalah ringkasnya yang berjudul ”Islam Agama Rahmat bagi Alam Semesta”, dosen pasca sarjana UIN Jakarta ini menulis:
“Menurut hemat saya, yang dilarang dalam teks-teks suci tersebut lebih tertuju kepada perilaku seksualnya, bukan pada orientasi seksualnya. Mengapa? Sebab, menjadi heteroseksual, homoseksual (gay dan lesbi), dan biseksual adalah kodrati, sesuatu yang “given” atau dalam bahasa fikih disebut sunnatullah. Sementara perilaku seksual bersifat konstruksi manusia… Jika hubungan sejenis atau homo, baik gay atau lesbi sungguh-sungguh menjamin kepada pencapaian-pencapaian tujuan dasar tadi maka hubungan demikian dapat diterima.” (Uraian lebih jauh, lihat, Majalah Tabligh MTDK PP Muhammadiyah, Mei 2008)
Musdah memang sangat berani dalam menyuarakan pendapatnya, meskipun sangat kontroversial dan mengejutkan banyak orang. Dia tentu paham bahwa isu homoseksual dan lesbian adalah hal yang sangat kontroversial, bahkan di lingkungan aktivis lieral sendiri. Banyak yang berpendapat agenda pengesahan perkawinan sejenis ini ditunda dulu, karena waktunya masih belum tepat. Tapi, Musdah tampaknya berpendapat lain. Dia maju tak gentar, bersuara tentang kehalalan dan keabsahan perkawinan sesama jenis. Tidak heran jika pada 7 Maret 2007 pemerintah Amerika Serikat menganugerahinya sebuah penghargaan ”International Women of Courage Award”.
Sebenarnya, sudah sejak cukup lama Musdah memiliki pandangan tersendiri tentang homoseks dan lesbi. Pandangannya bisa disimak di Jurnal Perempuan edisi Maret 2008 yang menurunkan edisi khusus tentang seksualitas lesbian. Di sini, Prof. Musdah mendapat julukan sebagai ”tokoh feminis muslimah yang progresif”. Dalam wawancaranya, ia secara jelas dan gamblang menyetujui perkawinan sesama jenis. Judul wawancaranya pun sangat provokatif: ”Allah hanya Melihat Taqwa, bukan Orientasi Seksual Manusia”.
Menurut Profesor Musdah, definisi perkawinan adalah: ”Akad yang sangat kuat (mitsaaqan ghaliidzan) yang dilakukan secara sadar oleh dua orang untuk membentuk keluarga yang pelaksanaannya didasarkan pada kerelaan dan kesepakatan kedua belah pihak.” Definisi semacam ini biasa kita dengar. Tetapi, bedanya, menurut Musdah Mulia, pasangan dalam perkawinan tidak harus berlainan jenis kelaminnya. Boleh saja sesama jenis.
Simaklah kata-kata dia berikutnya, setelah mendefinisikan makna perkawinan menurut Aal-Quran:
”Bahkan, menarik sekali membaca ayat-ayat Al-Qur’an soal hidup berpasangan (Ar-Rum, 21; Az-Zariyat 49 dan Yasin 36) di sana tidak dijelaskan soal jenis kelamin biologis, yang ada hanyalah soal gender (jenis kelamin sosial). Artinya, berpasangan itu tidak mesti dalam konteks hetero, melainkan bisa homo, dan bisa lesbian. Maha Suci Allah yang menciptakan manusia dengan orientasi seksual yang beragam.”
Selanjutnya, dia katakan:
”Esensi ajaran agama adalah memanusiakan manusia, menghormati manusia dan memuliakannya. Tidak peduli apa pun ras, suku, warna kulit, jenis kelamin, status sosial dan orientasi seksualnya. Bahkan, tidak peduli apa pun agamanya.”
Prof. Dr. Siti Musdah Mulia pun merasa geram dengan masyarakat yang hanya mengakui perkawinan berlainan jenis kelamin (heteroseksual). Menurutnya, agama yang hidup di masyarakat sama sekali tidak memberikan pilihan kepada manusia.
”Dalam hal orientasi seksual misalnya, hanya ada satu pilihan, heteroseksual. Homoseksual, lesbian, biseksual dan orientasi seksual lainnya dinilai menyimpang dan distigma sebagai dosa. Perkawinan pun hanya dibangun untuk pasangan lawan jenis, tidak ada koridor bagi pasangan sejenis. Perkawinan lawan jenis meski penuh diwarnai kekerasan, eksploitasi, dan kemunafikan lebih dihargai ketimbang perkawinan sejenis walaupun penuh dilimpahi cinta, kasih sayang dan kebahagiaan,” gerutu sang Profesor yang (menurut Jurnal Perempuan) pernah dinobatkan oleh UIN Jakarta sebagai Doktor Terbaik IAIN Syarif Hidayatullah 1996/1997.
Kita tidak tahu, apakah yang dimaksud dengan ”orientasi seksual lainnya” termasuk juga ”orientasi seksual dengan binatang”. Yang jelas, bagi kaum lesbian, dukungan dan legalisasi perkawinan sesama jenis dari seorang Profesor dan dosen di sebuah perguruan Tinggi Islam tekenal ini tentu merupakan sebuah dukungan yang sangat berarti. Karena itulah, Jurnal Perempuan secara khusus memampang biodata Prof. Musdah. Wanita kelahiran 3 Maret 1958 ini lulus pendidikan S-1 dari IAIN Alaudin Makasar. S-2 ditempuhnya di bidang Sejarah Pemikiran Islam di IAIN Jakarta. Begitu juga dengan jenjang S-3 diselesaikan di IAIN Jakarta dalam bidang pemikiran politik Islam. Aktivitasnya sangat banyak. Sejak tahun 1997-sekarang masih menjadi dosen Pasca Sarjana UIN Jakarta. Tahun 1999-2000 menjabat sebagai Kepala Penelitian Agama dan Kemasyarakatan Depag RI. Masih menurut birodata di Jurnal Perempuan, sejak tahun 2001-sekarang, Musdah Mulia juga menjabat sebagai Staf Ahli Menteri Agama bidang Hubungan Organisasi Keagamaan Internasional. Tapi, data ini ternyata tidak benar. Saya sempat mengkonirmasi ke seorang pejabat di Departemen Agama tentang posisi Musdah Mulia ini, dijawab, bahwa dia sudah dikembalikan posisinya sebagai peneliti di Litbang Depag.
Banyak yang bertanya, apa yang salah dengan pendidikan Prof. Musdah? Mengapa dia menjadi pendukung lesbian? Jawabnya: Wallahu A’lam.
Yang jelas, Musdah Mulia memang seorang ’pemberani’. Amerika tidak keliru memberi gelar itu. Dia berani mengubah-ubah hukum Islam dengan semena-mena. Dia memposisikan dirinya sebagai ’mujtahid’. Dia berani menyatakan dalam wawancaranya bahwa:
”Sepanjang bacaan saya terhadap kisah Nabi Luth yang dikisahkan dalam Al-Qur’an (al-A’raf 80-84 dan Hud 77-82) ini, tidak ada larangan secara eksplisit baik untuk homo maupun lesbian. Yang dilarang adalah perilaku seksual dalam bentuk sodomi atau liwath.”
Para pakar syariah tentu akan geli membaca ”hasil ijtihad” Musdah ini. Seorang Profesor – yang juga dosen UIN Jakarta – pernah berargumen, di dalam Al-Quran tidak ada larangan secara eksplisit bahwa Muslimah haram menikah dengan laki-laki non-Muslim. Ketika itu, saya jawab, bahwa di dalam Al-Quran juga tidak ada larangan secara eksplisit manusia kawin dengan anjing. Tidak ada larangan kencing di masjid, dan sebagainya. Apakah seperti ini cara menetapkan hukum di dalam Islam? Tentu saja tidak. Melihat logika-logika seperti itu, memang tidak mudah untuk mengajak dialog, karena dialog dan debat akan ada gunanya, jika ada metodologi yang jelas. Sementara metode yang dipakai kaum liberal dalam pengambilan hukum memang sangat sesuka hatinya, alias amburadul.
Yang jelas, selama 1400 tahun, tidak ada ulama yang berpikir seperti Musdah Mulia, padahal selama itu pula kaum homo dan lesbi selalu ada. Karena itu, kita bisa memahami, betapa ”hebatnya” Musdah Mulia ini, sehingga bisa menyalahkan ijtihad ribuan ulama dari seluruh dunia Islam. Jika pemahaman Musdah ini benar, berarti selama ini ulama-ulama Islam tolol semua, tidak paham makna Al-Quran tentang kisah kaum Luth. Padahal, dalam Al-Quran dan hadits begitu jelas gambaran tentang kisah Luth.
“Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada kaumnya: “Mengapa kalian mengerjakan perbuatan keji, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun sebelum kalian. Sesungguhnya kalian mendatangi laki-laki untuk melepaskan syahwat, bukan kepada wanita; malah kalian ini kaum yang melampaui batas. Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan: “Usirlah mereka dari kotamu ini, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri. Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali istrinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu); maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu.” (QS Al-A’raf:80-84).
Di dalam surat Hud ayat 82 dikisahkan (artinya):
”Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah-tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi.”
Kebejatan perilaku seksual kaum Luth ini juga ditegaskan oleh Rasulullah saw:
“Sesungguhnya hal yang paling aku takutkan menimpa umatku adalah perbuatan kaum Luth.” (HR at-Tirmidzi, al-Hakim, Ibn Majah).
Dalam Tafsir Al-Azhar, Hamka menjelaskan, bagaimana sangat merusaknya penyakit ’kaum Luth’, sehingga mereka diazab dengan sangat keras oleh Allah SWT. Hamka sampai menyebut bahwa perilaku seksual antar sesama jenis ini lebih rendah martabatnya dibandingkan binatang. Binatang saja, kata Hamka, masih tahu mana lawan jenisnya. Hamka mengutip sebuah hadits Rasulullah saw:
“… dan apabila telah banyak kejadian laki-laki ’mendatangi’ laki-laki, maka Allah akan mencabut tangan-Nya dari makhluk, sehingga Allah tidak mempedulikan di lembah mana mereka akan binasa.” (HR at-Tirmidzi, al-Hakim, dan at-Tabhrani).
Hamka menulis dalam Tafsirnya tentang pasangan homoseksual yang tertangkap tangan: “Sahabat-sahabat Rasulullah saw yang diminta pertimbangannya oleh Sayyidina Abu Bakar seketika beliau jadi Khalifah, apa hukuman bagi kedua orang yang mendatangi dan didatangi itu, karena pernah ada yang tertangkap basah, semuanya memutuskan wajib kedua orang itu dibunuh.” (Lihat, Tafsir al-Azhar, Juzu’ 8).
Tapi, berbeda dengan pemahaman umat Islam yang normal, justru di akhir wawancaranya, Prof. Musdah pun menegaskan:
”Islam mengajarkan bahwa seorang lesbian sebagaimana manusia lainnya sangat berpotensi menjadi orang yang salah atau taqwa selama dia menjunjung tinggi nilai-nilai agama, yaitu tidak menduakan Tuhan (syirik), meyakini kerasulan Muhammad Saw serta menjalankan ibadah yang diperintahkan. Dia tidak menyakiti pasangannya dan berbuat baik kepada sesama manusia, baik kepada sesama makhluk dan peduli pada lingkungannya. Seorang lesbian yang bertaqwa akan mulia di sisi Allah, saya yakin ini.”
Camkanlah pendirian Ibu Professor AKKBB ini. ”Saya yakin ini!” katanya. Itulah pendiriannya. Demi kebebasan, orang bisa berbuat apa saja, dan berpendapat apa saja. Ketika seorang sudah merasa pintar dan berhak mengatur dirinya sendiri, akhirnya dia bisa juga berpikir: ”Tuhan pun bisa diatur”. Kita pun tidak perlu merasa aneh dengan pendirian dan sikap aktivis AKKBB seperti Mudah Mulia. Jika yang bathil dalam soal aqidah – seperti kelompok Ahmadiyah – saja didukung, apalagi soal lesbian. Meskipun sering mengecam pihak lain yang memutlakkan pendapatnya, Ibu Profesor yang satu ini mengaku yakin dengan pendapatnya, bahwa praktik perkawinan homo dan lesbi adalah halalan thayyiban.
Jika sudah begitu, apa yang bisa kita perbuat? Kita hanya bisa ’mengelus dada’, sembari mengingatkan, agar Ibu Profesor memperbaiki berpikirnya. Profesor tidak jaminan benar. Banyak profesor yang keblinger. Jika tidak paham syariat, baiknya mengakui kadar keilmuannya, dan tidak perlu memposisikan dirinya sebagai ”mujtahid agung”. Pujian dan penghargaan dari Amerika tidak akan berarti sama sekali di hadapan Allah SWT. Kasihan dirinya, kasihan suaminya, kasihan mahasiswa yang diajarnya, dan kasihan juga institusi yang menaunginya. Tapi, terutama kasihan guru-guru yang mendidiknya sejak kecil, yang berharap akan mewariskan ilmu yang bermanfaat, ilmu jariyah.
Mudah-mudahan, Ibu Profesor aktivis AKKBB ini tidak ketularan watak kaum Luth, yang ketika diingatkan, justru membangkang, dan malah balik mengancam. “Mengapa kalian mendatangi kaum laki-laki di antara manusia, dan kalian tinggalkan istri-istri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu; bahkan kalian adalah orang-orang yang melampaui batas. Mereka menjawab: ”Hai Luth, sesungguhnya jika kamu tidak berhenti, maka pasti kamu akan termasuk orang-orang yang diusir.” (QS asy-Syu’ara: 165-167). [Depok, 6 Juni 2008/www.hidayatullah.com]
Catatan Akhir Pekan adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com